KEMATIAN telah menghampiri Sajjad, Rabu (13/02). Nafas pemuda asal Afghanistan lulusan Teknik Unsrat itu terhenti, setelah menjalani perawatan medis beberapa hari di Rumah Sakit Prof Dr RD Kandou Manado.
Memori 7 Februari 2018 di blok lantai II Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Manado, kembali terekam redaksi Mangunipost.com, ketika suara “Coba Bakar”, keluar begitu saja dari mulut petugas, saat hendak menerobos masuk blok para deteni Afghanistan.
Maksud kedatangan para petugas, tersinyalir untuk melakukan penertiban, pasca pihak United Nations High Commissioner for Refugees (UNHCR) mengirimkan surat Nomor 19/NESHCR/3057 tentang konfirmasi status UNHCR pertanggal 31 Januari 2019, yang menyatakan kalau belasan deteni Afghanistan di Rudenim Manado tidak lagi menjadi perhatian UNHCR.
Namun, langkah para petugas tidak berjalan mulus. Sajad sempat menghalangi mereka dengan bermodal bensin dan pemantik api. “Kalau naik saya akan bakar diri,” seru Sajad, sebagaimana dituturkan kembali Ammar, ketika diwawancara awak media, Senin (11/02).
Menurut Ammar, sebelum bara api menyentuh tubuh Sajad, dirinya telah menyaksikan langsung bagaimana Sajad nekad menyiram tubuhnya dengan bensin, dan melihat mata Sajad menerawang jauh ke perang yang berkecamuk di Afghanistan.
Seakan memberi signal, dirinya takkan ingin lagi ke sana. Sebab, telah banyak nyawa warga sipil yang terenggut, dan Sajad merasa proses deportasi ke sana, sama halnya dengan misi bunuh diri.
“Dia sudah siram dirinya dengan bensin terus dari petugas di sini bilang coba bakar, malahan gertak dia, karena ade saya pikir sudah tidak ada jalan lain dari pada mau di deportasi mati di sana (Afghanistan-red) dan mati di sini kan sama juga akhirnya dia melakukan aksinya,” curhat Ammar, dengan nada sedih.
Hanya hitungan detik, api langsung melalap tubuh Sajad. Proses penyelematan pun sempat dilakukan. Para petugas sama sekali tak menyangka, suara “Coba Bakar” itu bakal jadi pemicu aksi nekad Sajad.
Siang itu, sekitar pukul 13.30 Wita, Sajad bersama rekannya MK alias Karim yang juga ikut melakukan aksi bakar diri langsung dilarikan ke Rumah Sakit (RS) Robert Wolter Monginsidi, Teling.
Keberadaan dua deteni Afghanistan di RS tersebut, tak ditepis Kepala RS, Letkol CKM dr F Alvian Amu, saat dihampiri awak media.
“Barusan masuk ada dua orang pasien, masuk IGD Rumah Sakit dengan luka bakar. Saya dapat informasi secara singkat bahwa kedua orang tersebut adalah pengungsi Afghanistan yang sudah ditempatkan di Rudenim Manado. Belum tahu kronologinya, dia sengaja bakar diri atau tidak, kita masih menunggu konfirmasi dari pejabat Imigrasi. Tapi intinya RS Robert Wolter Monginsidi milik umum, siap menerima pasien apapun juga,” terang Alvian.
Sajad sendiri saat berada di RS Robert Wolter Monginsidi sempat mengemukakan, kalau aksi bakar diri tersebut dilakukannya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan PBB melalui UNHCR, atas perjuangan para deteni Afghanistan Rudenim Manado, untuk mendapatkan status Refugee (pengungsi). Dalam hal ini, mereka ingin memulai kehidupan baru di luar Afghanistan.
“Selama ini PBB terlebih khusus UNHCR telah menginjak torang pe hak karna selama 20 tahun ini dorang nda pernah lanjuti, saya ingin bertanya kepada dorang, kenapa?,” protes Sajad.
Sementara itu, proses pemindahan perawatan medis Sajad dari RS Robert Wolter Monginsidi ke RS Kandou, baru diketahui Mangunipost.com, Senin (10/02). Saat Kepala Rudenim Manado, Arthur L Mawikere dikonfirmasi via WhatsApp.
Dimana, Mawikere menerangkan bahwa posisi Sajad kini berada di RS Kandou. “Kayaknya masih di rumah sakit,” terang Mawikere. “Rumah Sakit Teling pak?,” tanya wartawan. “Bukan, Kandou Malalayang,” jawab Mawikere, seraya menambahkan kalau Sajad langsung dirujuk hari itu juga, pasca kejadian.
Keesokan harinya, di kegiatan jumpa pers, Mawikere menerangkan kalau sebelum aksi bakar diri terjadi, para deteni sempat melakukan aksi mogok makan. Hal tersebut berlangsung, saat mereka mengetahui surat permohonan untuk mendapatkan suaka telah ditolak UNHCR.
Sehingga, pihak Rudenim Manado mau tak mau harus menangani langsung kebutuhan makan dan minum mereka.
“Berarti ketika surat ini kami terima dan menjelaskan kepada kami bahwa mereka sudah menutup kasus ini. Otomatis penanganan sudah berada ke-imigrasi artinya institusi yang menangani orang asing,” papar Mawikere.
“Kebutuhan dasarnya sudah kami berikan makan-minum sesuai dengan kewajiban kami seperti pada penghuni yang lain, tapi mereka mogok tidak makan. Setiap hari kami berikan makan tetapi mereka terus melakukan mogok. Pada hari ke-3 dua orang ibu sakit dan dibawa ke Rumah Sakit. Selanjutnya pada tanggal 6 Februari kami mengirimkan surat kepada pihak kepolisian untuk sama-sama menertibkan semua deteni termasuk barang-barang ilegal yang sudah bertahun-tahun mereka pakai,” sambungnya.
Penjelasan Mawikere justru berbanding terbalik dengan keterangan Ammar. Dijelaskan Ammar, pihak Imigrasi ternyata telah berencana melakukan dideportasi secara paksa.
Salah satunya dengan upaya agar para deteni keluar dari blok, alasannya blok akan renovasi.
Informasi deportasi paksa ini, akhirnya menjadi pemicu para deteni nekad melakukan aksi mogok makan hingga bakar diri.
“Terus kita tanya, kenapa harus dicat dengan membawa banyak petugas terutama dari pihak kepolisian? Mereka mau paksa nae dan kami mencoba melakukan perlawanan untuk menghalangi, karena ada ade kecil, yang kecil itu umurnya 9 tahun, bapak saya yang sakit sudah ketakutan dengan semua keluarga saya yang di atas dengan petugas-petugas tetapi mereka tetap mengancam,” tutur Ammar.
Selain itu, Ammar menegaskan, aksi bakar diri yang dilakukan Sajad, pada prinsipnya bukan ditujukan kepada Rudenim Manado, melainkan lebih mengarah ke UNHCR.
“Untuk bakar diri yang dilakukan Sajad itu sebagai bentuk ketakutan dan perlawanan karena pada waktu itu banyak petugas dan berusaha menyelamatkan keluarga karena UNHCR sudah lepas tangan dengan dalil akan dideportasi karena sudah di ‘close case’ semua berkas-berkas kami. Sebenarnya kita masih suka tinggal di Indonesia karna kita kan sudah besar 20 tahun di Indonesia. Sudah selama ini, ngak pernah saya ada masalah dengan masyarakat Indonesia,” curhatnya.
Terkait proses administrasi untuk mendapat status Refugee, Ammar mengatakan, kalau mereka telah beberapa kali menjalani proses interview dengan petugas UNHCR. Namun, selalu hanya mendapat janji manis. Dan belakangan, UNHCR malah memberikan penolakan, dengan dalih negara dalam kondisi aman.
“Kalo memang negara aman kenapa UNHCR dari tahun dua ribuan, kami tidak dipulangkan. Itu berarti negara kami kacau tapi kami tidak kasih,” tuntas Ammar.
Sementara itu, berita kematian Sajad pun tak ditepis Kepala Imigrasi Kelas I Manado, Friece Sumolang, saat dihubungi awak media hari ini. “Dengar-dengar iyo, informasi so meninggal,” singkatnya dengan dialek Manado, seraya mengarahkan informasi lebih lanjut dapat ditanyakan ke Mawikere.
Adapun dalam surat UNHCR, ada belasan deteni Afghanistan di Rudenim Manado telah ditolak permohonan status Refugee. Di antaranya, Mohammad Jacob, Mohammad Karim, Aghileh Daurie, Yahya, Zahrah, Nor Mohammad, Sajjad, Tahanan PBB II, Mohammad Rahim, Amireh Mostafa, Ammar, Fatemeh dan Ali. (*)
Penulis : Eka Egeten
Editor : Jack Wullur