Manado, MP
Pemilihan Umum (Pemilu) 17 April 2019 kemarin, baik pemilihan presiden, DPR RI, DPD RI, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota, nyaris menelan anggaran pembiayaan sebesar Rp 30 triliun. Namun produk pemilu yang didapat belum bisa menunjukkan hasil maksimal.
Buktinya, masih banyak Calon Legislatif (Caleg) terpilih, dinilai publik tidak memiliki kapasitas yang layak sebagai penyelengara negara. Karena sebagian besar Caleg terpilih adalah para calon yang memiliki modal finansial yang banyak serta terikat politik kekerabatan dengan penguasa-penguasa di daerah.
Memang hak semua warga negara untuk menjadi anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Baik pusat, provinsi maupun daerah. Namun ada kekhawatiran yang timbul, para calon terpilih justru akan menjadi beban negara.
Hal ini disampaikan Ferry Liando, saat menjadi pemateri pada diskusi yang bertajuk ‘Evaluasi Pemilu 2019 Menuju Pilkada 2020’.
“Pengeluaran negara akan terkuras, tapi kontribusi mereka (Caleg terpilih) masih sangat diragukan. Kebanyakan yang terpilih tidak memiliki pengalaman kepemimpinan sehingga sulit diharapkan bisa berkontribusi,” ungkap DR Ferry Daud Liando, S.IP, M.Si, di aula Fisip Unsrat, Selasa (6/8).
Dijelaskan, ada beberapa kelemahan yang didapati pada Pemilu 2019. Pertama, regulasi Pemilu yakni UU No. 7 tahun 2017 mengandung banyak sekali kelemahan. Kedua, kinerja partai politik yang belum optimal. Ketiga, kecenderungan pemilih masih sangat pragmatis. Keempat, kinerja penyelenggara pemilu yang masih melahirkan banyak catatan.
“Terlalu banyak pasal yang melahirkan multi tafsir dan sulit diimplementasikan. Bukti yang paling nyata terdapat pada beberapa pasal yang dibatalkan oleh MK melalui proses judicial review. Kedua, sebagian besar Parpol tidak menjalankan fungsi rekrutmen yang tersistematis, namun yang dilakukan adalah mencalonkan mereka yang hanya kuat dari sisi finansial dan faktor kedekatan dengan penguasa lokal. Padahal UU No. 2 tahun 2011 tentang Parpol menyebutkan bahwa tugas Parpol itu melakukan fungsi rekrutmen secara sistematis. Tidak dilakukan hanya menjelang pencaloan,” terangnya.
“Ketiga, kecenderungan pemilih masih sangat pragmatis. Mereka memilih calon kerap mengabaikan sisi kualitas, tetapi lebih terpengaruh pada politik uang ataupun politik aliran. Pendidikan politik pemilih sebagian besar masih buruk. Keempat, kinerja penyelenggara pemilu yang masih melahirkan banyak catatan. Sebagian dilaporkan ke DKPP kemudian mendapatkan sanksi, karena terbukti melakukan pelanggaran,” paparnya.
Kajur Ilmu Pemerintah Fisip Unsrat ini berharap, kiranya pada Pilkada 2020, 4 hal dimaksud harus dibenahi agar Pilkada makin berkualitas.
“Pada Pilkada 2020 mendatang, 4 hal ini harus dibenahi agar Pilkada makin berkualitas,” harapnya.
Diskusi ini turut dihadiri para jajaran dosen dan mahasiswa Fisip Unsrat. (Roki Taliawo)