Kiai Haji Ma’ruf Amin Mulai Serang SBY Dengan Gaya Berlagak Pilon

649
Kiai Haji Ma'ruf Amin dan SBY (ist)

Jakarta, MP

Ketua Umum Partai Demokrat, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sudah menyatakan dukungannya kepada Calon Presiden Prabowo Subianto walau disebut-sebut sebagai dukungan separuh hati.

SBY pun kini tak luput dari serangan-serangan Capres dan Cawapres kubu sebelah, Jokowi-Ma’ruf Amin.

Kiai Haji Ma’ruf Amin yang mulai menyerang dan menyalahkan kebijakan di era pemerintahan SBY.

Ma’ruf Amin melakukan itu dalam acara Partai NasDem pada awal September 2018 lalu.

Kiai Haji Ma’ruf Amin membahas itu ketika sedang membicarakan mengenai cara membangun ekonomi yang berkeadilan terkait dengan sila kelima Pancasila, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Kiai Haji Ma’ruf Amin pun menyebut bahwa membangun ekonomi berkeadilan dilakukan dengan membuat arus baru ekonomi Indonesia di era Presiden Jokowi.

“Sebab arus lama itu sistemnya neo liberalisme. Neo liberalisme ini melahirkan konglomerasi dengan menggunakan teori trickle down effect, tetapi ternyata tidak netes-netes. Yang atas makin kuat, yang bawah makin lemah,” kata Ma’ruf Amin.

Namub, kata Ma’ruf Amin, memberdayakan ekonomi kerakyatan  tidak berarti harus melemahkan yang kuat, tetapi menguatkan yang lemah melalui upaya-upaya tidak membenturkan satu kekuatan dengan kekuatan yang lain.

“Melainkan melalui kemitraan seperti yang sudah disampaikan oleh bapak persiden kita (Presiden Jokowi). Kolaborasi antara komponen seluruh bangsa ini, supaya harta itu tidak hanya beredar di kalangan orang kaya, tetapi juga beredar di seluruh komponen dan lapisan bangsa,” ujar Ma’ruf Amin.

Caranya yaitu dengan menghilangkan kesenjangan antara kelompok-kelompok masyarakat yang kuat dan lemah agar tidak terlalu jauh.

“Tidak mungkin menyamakan, tetapi perbedaan ini jangan terlalu senggang,” ujar Ma’rfu Amin.

Serang SBY

Menurut Ma’ruf Amin, Presiden Jokowi sudah mampu membuat landasan untuk menghilangkan kesenjangan selama 5 tahun kepemimpanannya.

Cara-caranya itu dengan melakukan pembangunan infrastruktur sehingga disparitas (kesenjangan) bisa diperkecil.

“Kemudian juga melakukan penguatan-penguatan dengan yang beliau (Presiden Jokowi) sebut redistribusi aset. Redistribusi aset menurut beliau adalah sisa-sisa tanah di negara ini yang masih dimiliki, dibagikan kepada pengusaha-pengusaha kecil, koperasi, pesantren, sehingga mereka akan tumbuh menjadi pengusaha yang kuat,” ujar Ma’ruf Amin.

Makanya, ujar Ma’ruf Amin, ketika ada orang mengatakan bahwa pada masa Presiden Jokowi pemerintah banyak memberikan tanah-tanah yang luas untuk dikuasai oleh sekelompok orang, Ma’ruf Amin mati-matian membantah hal tersebut.

“Saya katakan itu tidak benar. Pak Jokowi pernah bilang ke saya bahwa dia tidak pernah kasih 1 hektarpun tanah kepada konglomerat. Jadi saya bilang yang ngasih itu bukan pak Jokowi, tapi orang yang sebelumnya itu. Saya tidak tahu orangnya, pokoknya sebelumnya,” kata Ma’ruf Amin.

Walaupun tak mau menyebut secara tegas siapa orang sebelumnya yang dimaksud Ma’ruf Amin alias berlagak pilon, tetapi hal itu cukup menjelaskan bahwa yang dimaksud Ma’ruf Amin adalah mantan Presiden SBY.

Hal itu lantaran berdasarkan data Greenomics, masa Presiden SBY memerintah merupakan masa dimana banyak perusahaan swasta di bidang perkebunan mendapatkan tanah.

Kompas.com pernah menulis bahwa Ketua Umum PAN, Zulkifli Hasan, sekaligus mantan Menteri Kehutanan disebut oleh Greenomics sebagai Menteri Kehutanan yang paling banyak memberikan izin perkebunan lewat pelepasan kawasan hutan.

Menanggapi hal itu, Zul, sapaannya, mengatakan, pernyataan Greenomics itu muncul berkaitan dengan pernyataan Ketua Dewan Kehormatan PAN Amien Rais yang mengkritik reformasi agraria yang dilakukan pemerintahan Presiden Joko Widodo.

“Ini kan respons karena Pak Amien toh,” kata Zul, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (23/3/2018).

Ia menambahkan saat ia menjabat sebagai Menteri Kehutanan di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), pemerintah mencanangkan target swasembada gula.

Namun saat itu negara tak memiliki tanah yang cukup. Kala itu, kata Zul, hanya ada tanah di Papua yang cukup karena program swasembada gula membutuhkan tanah sekitar 1 juta hektar.

Akhirnya ada wilayah hutan yang digunakan sekitar 300.000-400.000 hektar untuk perluasan penanaman gula. Tetapi penanaman gula itu tidak optimal karena adanya hama dan minim infrastruktur.

“Jadi tidak bisa lanjut. Juga pertanian tidak bisa lanjut karena infrastrukturnya tidak ada. Tidak bisa lanjut juga karena orang-orangnya belum ada. Jadi nanti kita lihat lebih jelas,” lanjut Zul.

Sebelumnya dikutip dari tribunnews.com, Direktur Eksekutif Greenomics Indonesia, Vanda Mutia Dewi, mengatakan hasil studi Greenomics Indonesia memperlihatkan bahwa selama periode 2004-2017, kawasan hutan yang dilepas untuk izin perkebunan kepada para pelaku bisnis tertentu mencapai lebih dari 2,4 juta hektar.

Luas itu sekitar lebih dari 36 kali lipat luas DKI Jakarta. Lebih dari 90% dari izin-izin perkebunan yang telah diterbitkan itu, merupakan izin-izin ekspansi perkebunan sawit yang diberikan kepada para pelaku bisnis.

“Lebih dari 2,2 juta hektar atau lebih dari 91% atau setara lebih dari 33 kali lipat luas DKI Jakarta, izin-izin perkebunan tersebut diberikan pada periode Presiden SBY. Sedangkan, izin-izin perkebunan yang diberikan pada era Presiden Joko Widodo, seluas lebih dari 200 ribu hektar, atau di bawah 9%,” ujar Vanda, melalui keterangannya, Kamis (22/3/2018).

Ia menyebut studi memperlihatkan jika Zulkifli Hasan, Menteri Kehutanan periode 2009-2014, memecahkan rekor sebagai menteri yang paling banyak memberikan izin perkebunan kepada para pelaku bisnis tertentu.

Zulkifli yang ketika itu menjabat Sekjen Partai Amanat Nasional (PAN), memberi perizinan kebun dengan luas 1,64 juta hektar, atau hampir 25 kali lipat luas DKI Jakarta.(tribunnews.com)