Telusuri Jejak Borgo Manado di Alam Pikiran Heydemans

2632

Oleh : Rizali Posumah

Rutinitas sebagai pemburu berita, hari itu telah menambah wawasanku tentang salah satu etnis di Kota Manado, yang dikenal dengan sebutan Borgo.

Pengetahuan singkat sejarah etnis Borgo di Manado ini, telah tersusun rapih dalam memoriku, sejak Desember 2017 lalu.

Semua bermula, ketika kantor media tempatku bekerja dulu, memberi penugasan untuk mewawancarai tokoh bernama Paulus Heydemans. Lelaki berwajah Portugis, berbadan gemuk dan berambut putih itu kutemui kediamannya, di Kelurahan Bitungkarangria, Kecamatan Tuminting.

Memang tak banyak waktu yang kuhabiskan ketika berinteraksi dengan Heydemans, tapi dari penjelasannya, aku memperoleh informasi bagaimana etnis Borgo bisa berakar di Kota Manado.

Menurut Heydemans, tanda kehadiran etnis Borgo dimulai sejak Abad 16, ketika bangsa Portugis dan Spanyol mulai menjelajahi belahan bumi, dan tembus ke wilayah Maluku.

“Orang Portugis dan Spanyol kebanyakan lajang, dan kemudian mereka menikah dengan orang-orang Maluku,” terang lelaki kelahiran 1954.

Selanjutnya, Heydemans yang merupakan sejarahwan Borgo di Sulut itu kemudian menerangkan bahwa perkawinan tersebut akhirnya memunculkan istilah Mistico, yakni sebutan untuk hasil perkawinan antara orang-orang Portugis dan Spanyol dengan orang-orang Maluku.

Dan Heydemans menambahkan, saat Portugis dan Spanyol bertandang ke Manado di era 1523, orang-orang Mistico turut dibawa serta. Sehingga, perkawinan antara orang-orang Mistico dengan penduduk Manado pun tak terelakan.

Memasuki 1600-an, barulah orang-orang Belanda tembus Manado, melalui Perusahaan Dagangnya yang dalam catatan sejarah dikenal dengan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Saat itu, posisi Portugis-Spanyol langsung tersingkir. Dan Belanda ikut memberlakukan Hukum Eropa Modern. Namun, tidak mengubah aturan masyarakat adat yang sudah ada di Sulawesi Utara.

“Saat Belanda datang, orang-orang Mistico ini sudah menjadi warga Kota Manado. Mereka tidak mungkin ke Eropa, karena itu bukan kampung mereka. Di Manado juga mereka tidak diakui sebagai Pribumi, jadi tidak bisa ikut aturan hukum adat Pribumi,” tutur Heydemans.

Seiring berjalannya waktu, Belanda kemudian merumuskan aturan terkait perkawinan campur tersebut, dan memberikan status istimewa, yang dikenal dengan istilah Vrijburger. Status ini juga berlaku bagi mereka yang masih keturunan Belanda.

Di kemudian hari, istilah Vrijburger ini ikut bermetamorfosis menjadi Burger, lalu berubah menjadi Borgor, dan terakhir lewat lidah warga setempat, lahirlah istilah Orang Borgo.

Usai berbincang bersama Heydemans, kurang lebih dua jam, di teras rumahnya, saya kemudian pamit. Pandanganku sempat terpukau pada gambar di teras tentang orang Borgo menggenggam parang dan perisai, berbalutkan pakaian perang. (*)

Editor : Jack Wullur