Zoonosis Mengancam, USAID PREDICT Indonesia Warning Masyarakat Minahasa

499

Tondano, MP

USAID PREDICT Indonesia, yang diwakili Pusat Studi Satwa Prima (PSSP) IPB University dan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman (LBME) Jakarta, sampaikan hasil surveilans satwa liar dan manusia tentang potensi penyakit zoonosis pada masyarakat akibat pola perburuan dan konsumsi daging satwa liar di Sulawesi, di Noongan, Selasa (13/8).

Kegiatan surveilan lapangan ini telah dilakukan sejak dua tahun terakhir di wilayah Minahasa, Sulawesi Utara.

Penyakit zoonosis disebabkan oleh bibit penyakit berbahaya seperti virus, bakteri, parasit, dan jamur. Bibit penyakit tersebut dapat menyebabkan manusia dan hewan terserang sakit, baik ringan maupun mematikan.

Dalam temuan surveilans yang dibagi menjadi dua bagian, yaitu potensi zoonosis yang dibawa dari satwa liar ke manusia, didapati beberapa hal. Pertama, pola konsumsi bushmeat atau daging satwa liar menunjukkan tren yang terus meningkat di seluruh lapisan sosial ekonomi masyarakat dari tahun ke tahun (dengan variasi kenaikan dan penurunan permintaan jenis daging satwa liar tertentu). Kedua, potensi terjangkitnya zoonosis pada manusia perlu tetap diwaspadai, mengingat budaya konsumsi makanan daging satwa liar, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, dan kurangnya pengetahuan tentang bahaya zoonosis itu sendiri.

Dr. drh. Joko Pamungkas, MSc., Koordinator USAID PREDICT Indonesia mengatakan, kegiatan lapangan dimaksudkan untuk mengantisipasi timbulnya potensi zoonosis yang dibawa oleh satwa liar ke manusia berupa virus yang bersifat patogenik atau menimbulkan penyakit melalui berbagai interaksi yang mungkin timbul sebagai dampak perilaku manusia.

“Adalah sebuah fakta yang tidak dapat dibantah bahwa 75 persen penyakit infeksius baru atau berulang pada manusia, ditularkan oleh hewan (zoonosis) dan 60 persen dari penyakit zoonotik tersebut ditularkan melalui satwa liar,” jelasnya.

Dr. Ir. Yohannis R. L. Tulung, MSi, Dekan Fakultas Peternakan Universitas Sam Ratulangi, yang turut memberi dukungan kegiatan USAID PREDICT Indonesia di lapangan mengatakan, kesehatan manusia sangat erat kaitannya dengan kontak, interaksi, dan konsumsi (daging) satwa liar.

“Artinya, satwa liar yang biasa dikonsumsi oleh manusia seperti ular, kelelawar, dan tikus sangat berpotensi menularkan penyakit zoonotik, seperti nipah, ebola, dan zika yang mematikan,” tuturnya.

Sementara, dr. Merry Mawardi, SpA, Kepala RSUD Noongan, menyambut positif kerjasama dengan USAID PREDICT Indonesia. “Kerjasama ini berhasil meningkatkan kapasitas dalam melaksanakan kegiatan penelitian di pusat layanan kesehatan masyarakat. Selain itu, juga terjadi peningkatan dalam penerapan biosafety secara komprehensif yang dapat meningkatkan praktik-praktik laboratorium yang baik,” paparnya.

Peran kelelawar dalam keseimbangan ekosistem sebagaimana diketahui, memiliki fungsi sebagai polinator (pembantu penyerbukan tanaman) di alam. Hilangnya kelelawar di alam, dapat mengakibatkan berkurangnya keanekaragaman seluruh tanaman buah dan bunga (lebih dari 300 jenis).

Selain itu, kelelawar juga memiliki fungsi sebagai penyebar benih tanaman keras yang tumbuh di hutan atau sebagai agen reboisasi alamiah.

Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan oleh tim USAID PREDICT Indonesia dari tahun 2017-2019, diketahui sebanyak 1 juta lebih kelelawar diburu per tahunnya untuk memenuhi permintaan pasar di pulau Sulawesi saja. Hal tersebut tentu sangat mengkhawatirkan dalam perspektif keseimbangan ekosistem di alam, karena hilangnya rantai polinator alami.

Prof. Dr. HI Syamsu Qamar Badu, M.Pd, Rektor Universitas Negeri Gorontalo membeberkan, saat ini lembaga yang ia pimpin sedang melakukan konservasi kelelawar.

“Salah satu hal yang sedang kami jalankan adalah konservasi kelelawar di Pulau Ponelo, Gorontalo Utara sebagai upaya mempertahankan ekosistem alam yang berimbang,” ungkapnya.

Di bagian lain, hasil surveilans terhadap sampel biologi manusia kelompok masyarakat berisiko tinggi di Sulawesi, didapati bahwa belum ditemukan virus patogenik zoonosis, tetapi tetap memiliki risiko tinggi berdasarkan hasil karakterisasi perilaku pada kelompok masyarakat tersebut.

Dodi Safari, Ph.D, peneliti dari EIMB menegaskan, walaupun belum ditemukan virus zoonosis pada kelompok masyarakat berisiko tinggi di wilayah Sulawesi, tetapi tetap harus diwaspadai adanya risiko terpapar zoonosis yang lebih tinggi. “Karena kegiatan berinteraksi dengan satwa liar yang tidak aman, misalnya perburuan kelelawar di alam liar,” tandasnya.

Sekretaris Dinas Kesehatan Kabupaten Minahasa, dr. Maya Rambitan menuturkan, masukan dan rekomendasi dari kegiatan USAID PREDICT Indonesia akan dijadikan bahan kebijakan di bidang kesehatan masyarakat, khususnya mengenai bahaya paparan zoonosis akibat adanya kontak dengan satwa liar, baik dalam bentuk konsumsi maupun kegiatan berburu.

“Terdapat hal penting lainnya selain fakta tersebut di atas, yaitu pentingnya mempraktekkan kegiatan hygienitas di tingkat kelompok masyarakat dan pemburu satwa liar agar tidak menjadi agen penyebar penyakit zoonosis di masyarakat,” aku Rambitan.

Dalam kesempatan diseminasi hasil surveilans ini, juga turut dibagikan dan dipopulerkan sebuah buku adaptasi dengan judul “Hidup Aman Berdampingan Dengan Kelelawar” dari tim USAID PREDIC Indonesia sebagai salah satu jawaban menghindari penyakit zoonosis yang dibawa oleh kelelawar. (Kelly Korengkeng)